Sabtu, 31 Desember 2011

KONSUMSI SEAFOOD, RETORIKA PERIKANAN DARI PERSPEKTIF KETERSEDIAAN IKAN DI LAUT


Sebagai alat pemersatu dan perekat wilayah Indonesia, peran Deklarasi Djuanda sangatlah vital. Melalui perjuangan diplomasi yang tidak kenal lelah, pada akhirnya Indonesia mendapat pengakuan hukum sebagai negara kepulauan secara internasional melalui United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982. Ironisnya, Indonesia yang perairannya lebih luas daripada daratannya belum menjadikan ikan sebagai komoditas politis yang harus didukung semua pihak untuk dimanfaatkan sebesar-besarnya guna meningkatkan kesejahteraan bangsa sendiri.
Di saat kesadaran terhadap manfaat mengkonsumsi ikan bagi kesehatan telah kian meluas sehingga permintaannya di berbagai belahan dunia terus berkembang, tingkat konsumsi ikan di Indonesia masih relatif rendah sehingga harus terus ditingkatkan. Dari sisi pemasaran, tentunya hal ini menjadi peluang usaha yang sangat baik. Namun di sisi lain, di luar keberhasilan pengembangan budidaya ikan terdapat kekhawatiran dari kelompok peduli lingkungan karena adanya isu degradasi stok ikan di alam akibat praktek penangkapan yang tidak bertanggung jawab.
Di bidang perikanan tangkap kita mengenal sebuah konsep mengenai potensi lestari perikanan, dikenal dalam 3 zona yang dibedakan atas zona hijau, kuning dan merah. Zona hijau berarti komoditas perikanan tersebut masih banyak tersedia di alam. Zona kuning berarti komoditas tersebut berada pada kondisi batas lestari, apabila diganggu dengan penangkapan satu ekor saja akan masuk dalam zona merah. Zona merah berarti komoditas perikanan sangat kurang/langka akibat overfishing, penangkapan yang tidak bertanggungjawab (bom, cianida, bius, pukat harimau) serta faktor biologis (tingkat reproduksi yang rendah serta pertumbuhan yang lambat.
Permintaan ikan yang berlebih dikhawatirkan dapat memicu eksploitasi sumberdaya ikan secara tidak terkendali. Untuk itu, World Wildlife Fund (WWF) menyusun panduan pemilihan seafood yang benar untuk para konsumen di seluruh dunia. Melalui seafood guide ini, konsumen akan lebih pintar dalam memilih jenis seafood yang akan dihidangkan di meja makan, apakah masuk zona merah, kuning atau hijau. Tinjauan ini hanya melihat dari aspek ketersediaan/kelestarian, bukan dari aspek mutu ikan ataupun dari aspek sosial.
Dalam konsep Seafood Guide sama dengan konsep potensi lestari, dimana seafood dibagi menjadi 3 kelompok :
HINDARI
Seafood dari daftar ini mengalami penurunan populasi yang serius di alam dan dalam proses penangkapannya mungkin terjadi tangkapan sampingan terhadap satwa yang dilindungi.
Contoh : penyu, hiu, lumba-lumba, kerapu
KURANGI
Produk ini seringkali di peroleh dengan cara penangkapan yang tidak lestari atau tidak ramah lingkungan.
Contoh : gurita, telur ikan, teripang, kuda laut, kakap.
AMAN
Seafood yang jumlahnya masih berlimpah dan aman untuk dikonsumsi.
Contoh : teri, tongkol, cakalang, tenggiri, cumi-cumi, ubur - ubur.

Dari pengelompokan tadi, setiap jenisnya dikelompokkan lagi menjadi empat, yaitu :
1.      Spesies yang dilindungi secara hukum;
2.      Perkembangbiakannya lambat dan sedikit, dan rentan terhadap over fishing, misalnya lobster, hiu dan kerapu;
3.   Cara penangkapannya sangat merusak habitat. Misalnya penangkapan lobster dan kerapu pada umumnya ditangkap dengan menyemprotkan racun sehingga dapat membunuh terumbu karang dan satwa laut lainnya;
4.  Berbahaya bagi kesehatan karena mengandung ciguatera atau memiliki kandungan logam berat yang terakumulasi dalam tubuhnya, contoh ikan karang.
Bagaimanapun ikan termasuk sumberdaya alam yang terbaharukan, meskipun diakui untuk beberapa spesies membutuhkan waktu yang panjang untuk dapat berkembangbiak. Oleh karenanya, sumberdaya ikan dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, namun dengan mengacu kepada prosedur yang memperhatikan kelestariannya.
Panduan dari organisasi masyarakat internasional tersebut tidak mengikat. Untuk mengatur perdagangan internasional hasil perikanan yang dinilai telah langka  terdapat ketentuan yang mempunyai kekuatan hukum yaitu melalui Convention on International Trade of Endangered Species of Flora and Fauna (CITES). Indonesia telah meratifikasi perjanjian CITES sejak tahun 1978, ini berarti Indonesia terikat terhadap ketentuan CITES tersebut. Dengan tidak mengkonsumsi dan memperdagangkan komoditas ataupun bagian dari produk dari spesies yang telah masuk ke dalam appendix CITES berarti kita telah berkontribusi besar terhadap kelestarian sumberdaya kelautan dan perikanan Indonesia.
Karena ikan merupakan bahan pangan sumber protein hewani yang paling baik, maka cara cerdas memilih produk perikanan selayaknya mempertimbangkan mutu produk, ketersediaan di alam serta isu sosial dari praktek usaha perikanan di belakangnya yaitu yang memperhatikan kesejahteraan pelakunya (nelayan dan pembudidaya).

Sumber referensi : Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2011. Peningkatan Konsumsi vs Stok Ikan di Alam dalam warta Pasar Ikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar